One Shot: WHAT IF?

Senin, 22 Februari 2016

Halo, gue bikin one shoot lagi. Semoga kalian suka :)

***

ONE SHOOT
What If?
Bagaimana Jika?

Hari ini aku ingin memberi kejutan untuk Adrian. Yup, hari ini tepat tanggal 10 Juli. Hal itu menandakan 18 tahun yang lalu, sosok bayi mungil laki-laki bernama Adrian Leonard Adisoebrata lahir ke dunia membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya.

Sedikit tentangku dan Adrian.

Namaku Rena Indira, biasa dipanggil Rena. Aku dan Adrian telah berpacaran selama hampir 2 tahun. Waktu itu Adrian masih kelas 12 SMA dan aku sendiri adalah adik kelas Adrian yang masih kelas 10.

Hampir 2 tahun berjalan, Adrian sekarang sudah menginjak bangku perkuliahan, dan aku masih kelas 11. Hal itu tentu saja tidak membuat kami berpisah.

Oh ya, Adrian punya adik laki-laki yang seumuran denganku. Namanya Arsen Savery Adisoebrata. Dia beda 2 tahun dengan Adrian.

Arsen adalah teman sekelasku. Kami cukup dekat. Mungkin karena aku berpacaran dengan kakaknya.

Arsen adalah cowok yang baik dan gentle. Setahuku, Arsen bukan tipe cowok yang dekat sama cewek. Dia sangat dingin dan tertutup dengan cewek lain. Banyak sih yang jadi secret admirer Arsen di sekolah. Arsen hanya dekat sama sahabatnya, dan tentu saja denganku.

Hal itu membuat banyak orang yang bertanya-tanya kenapa aku bisa berpacaran dengan Adrian sedangkan aku sekelas, seumur, dan dekat sama Arsen. Jawabannya adalah cinta tidak mengenal orang, waktu, dan tempat. Semuanya terjadi begitu saja.

Oke, acara berbincang-bincang akan aku hentikan terlebih dahulu karena sekarang aku sudah tiba di depan rumah Adrian.

Aku berjalan menuju pintu rumahnya sambil membawa kotak berisi kue dan lilin. Tidak lupa juga senyum yang tidak luntur sejak tadi.

Aku menekan bel dua kali, menunggu seseorang membukakan pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka, tampak Bi Ijah yang sedang berdiri di hadapanku.

"Halo, Bi!" sapaku.

"Eh, Non Rena, ada apa ya?" sapa Bi Ijah balik dengan senyuman.

"Adrian ada dalem kan, Bi? Saya ke sini pengin ngasih kejutan ke dia. Kan dia ulang tahun hari ini."

Raut wajah Bi Ijah tiba-tiba berubah. Dahinya berkerut, menatapku seolah bingung.

"Bi? Adrian ada di dalem kan, Bi?" tanyaku lagi. Namun sekali lagi, Bi Ijah belum bicara.

"Non Rena enggak tau?"

"Enggak tau apa ya, Bi?"

"Itu, Non, anu..."

"Anu apa Bi?"

"Emm..."

"Bi, jawab aku. Ada apa, sih, Bi?"

"Den Adrian udah berangkat ke Amerika tadi pagi. Saya kira Non Rena sudah tau."

Tubuhku seketika menegang, kotak kue yang ku pegang hampir saja jatuh. Bi Ijah dengan cepat menahan kotak tersebut agar tak jatuh.

Kenapa?

Kenapa Adrian tidak memberitahuku kalau ia ingin ke Amerika?

Semua masih menjadi tanda tanya di dalam pikiranku.

🎼🎼🎼

"Maaf gue gak kasih tau lo sebelumnya. Ini permintaan Adrian." ucap Arsen yang duduk di sebelahku.

Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Kenapa Adrian tidak ingin aku tau kalau ia ingin ke Amerika dan melanjutkan sekolah di sana? Semua ini seakan tidak adil padaku.

Lalu bagaimana dengan hubungan kami berdua. Bahkan sampai saat ini Adrian belum juga meneleponku.

Arsen beranjak dari sofa dan berjalan ke kamarnya. Tak lama kemudian ia kembali dengan sebuah surat yang digenggam oleh tangannya.

Ia lalu menyodorkan surat tersebut kepadaku. "Ini surat dari Adrian buat lo. Dia nitipin ini ke gue."

Aku mengambil surat tersebut dan membukanya secara perlahan.

Untuk Rena,
Satu-satunya cewek yang selalu ada buat gue dan membuat gue merasa nggak perlu siapa-siapa lagi di dunia ini.

Halo, Ren!
Gue tau lo pasti marah banget sama gue kan sekarang? Gue tau ini pasti karena gue gak ngabarin lo tentang kepindahan gue ke Amerika.

Gue minta maaf. Gue gak bisa cegah ini semua. Papa nyuruh gue ngelanjutin sekolah di Amerika. Kalo gue gak ikutin perintah Papa, rumah Mama bakalan dia jual. Lo tau kan seberapa banyak kenangan di rumah itu? Gue harap lo bisa ngertiin gue.

Gue gak bisa apa-apa lagi, Ren. Setelah Mama meninggal, gue cuma punya rumah peninggalan Mama itu. Gue gak pengen Papa jual rumah itu dan nyuruh gue untuk ikut dia pindah ke rumah baru bersama istri barunya.

Dan seperti yang lo tau, semenjak Mama meninggal, hubungan gue sama Papa nggak baik. Oleh sebab itu, kali ini gue ngalah untuk ngelanjutin sekolah ke Amerika.

Asal lo tau, Ren, gue sedih. Gue sedih karena gue bakal jauh dari lo, gue gak bisa lagi liat senyum lo tiap hari, kita gak bisa lagi jalan bareng, kita gak bisa ngelakuin semuanya berdua lagi. Dan intinya gue bakal jauh dari lo dan gue bakalan gila kalo gini.

Cuma lo yang bisa bikin gue tersenyum tulus dan tau arti kehidupan ini setelah Mama meninggal. Karena cuma lo, Ren. Dan setelah gue pindah, gue nggak tau, Ren.

Gue udah jelasin semuanya, Ren. Gue harap lo bisa ngerti dan maafin gue.

Sekali lagi gue minta maaf. Asal lo tau, gue sayang banget sama lo. Ini bukan kemauan gue untuk pergi ninggalin lo. Tapi gue gak bisa apa-apa lagi, Ren.

Maaf sekali lagi.

Gue janji bakalan kembali buat lo, Ren.

Adrian.

Gue ngerti. Tapi kenapa harus gue yang tau paling terakhir, Dri?

Lalu bagaimana dengan hubungan kita? Bahkan di surat itu, lo sama sekali nggak menyinggung tentang hubungan kita.

Lo janji bakalan kembali? Kapan, Dri? Kapan? Gue gak bisa nunggu sesuatu yang gak jelas.

Aku menangis terisak-isak. Arsen dengan spontan menenangkanku.

🎼🎼🎼

Hari demi hari terlewati, aku masih Rena yang selalu menunggu Adrian kembali.

Entahlah, aku juga tidak tahu. Arsen yang notabenenya adalah adik dari Adrian pun tidak tahu kapan Adrian kembali.

Adrian tidak bisa dihubungi lewat apa pun. Aku sudah mencoba menghubunginya lewat twitter, path, line, dan email tapi hasilnya masih sama, aku tidak dapat menghubungi Adrian.

Dan kini, semenjak Adrian pergi, hanya Arsen lah yang selalu berada di sampingku dan selalu menemaniku dalam keadaan apa pun. Kesabarannya dalam menghadapiku membuatku merasa bahwa Arsen benar-benar cowok yang baik.

Andai saja aku bisa menjatuhkan hatiku padanya, tapi rasanya tak mungkin. Karena hatiku masih menunggu Adrian untuk kembali.

Entah kapan.

Aku pun tidak tahu.

🎼🎼🎼

Hari minggu, di saat aku tengah bersantai memainkan handphoneku, notifikasi email terlihat di atas layar handphoneku.

Dan di situ tertera nama pengirimnya Adrian Leonard A.

Hatiku terasa senang dicampur penasaran. Senang karena akhirnya Adrian mengirim pesan kepadaku dan penasaran karena ingin tahu apa isi pesan yang Adrian ingin sampaikan setelah hampir 1 setengah tahun tidak mengabariku.

adrianleonarda@gmail.com

Ren, apa kabar? Lo pasti baik-baik aja, 'kan karena ada Arsen di samping lo. Gue tau Arsen pasti bakal jagain lo.

Gue di sini baik.

Gue pengin nyampein seseuatu ke lo. Gue harap lo gak kecewa sama apa yang bakal gue kasih tau.

Hm..
Gue rasa hubungan kita sampai di sini aja, Ren.

Gue harap lo bisa nemuin orang yang lebih baik dari gue.

Maaf kalo gue bikin lo sakit hati, Ren. Gue harap lo bisa lupain semua tentang kita.

Adrian.

Seusai membaca email dari Adrian, tubuhku langsung menegang dan tak bisa berbuat apa-apa lagi.

Otakku berputar lagi mengingat kalimat per kalimat yanh Adrian tulis.

Dia meminta hubungan ini berakhir.

Ada apa sebenarnya?

Kenapa ia tidak memberiku alasan yang jelas? Aku sungguh tidak mengerti dengan semua ini. Dia pergi tanpa kabar, setelah bertahun-tahun ia hilang dan akhirnya mengirimku pesan yang isinya meminta hubungan kami cukup sampai di sini.

Dasar brengsek!

Dia pikir aku ini apa?

Setelah setahun lebih aku menunggunya kembali tanpa ada kabar dan kepastian, dia malah memutuskannya secara sepihak.

Dia memintaku untuk melupakan semua yang telah kami lewati bersama. Baiklah, aku akan menuruti permintaanmu, Adrian.

Karena detik ini, aku akan mencoba untuk melupakanmu.

🎼🎼🎼

"Mau Adrian apa, sih? Dia emang cowok brengsek. Jangan lo buang-buang air mata lo untuk cowok gak guna kayak Adrian, Ren." ucap Arsen dengan berapi-api setelah aku menceritakan semua.

Yap, menceritakan Adrian yang baru saja mengakhiri hubungan ini. Arsen juga sempat membaca email dari Adrian.

"Sen, dia juga kakak lo." ucapku seberusaha mungkin menenangkan Arsen yang sudah naik pitam.

Arsen menghembuskan napas kasar. "Gue gak sudi punya kakak kayak dia, Ren. Dia udah nyakitin lo. Dia itu bajingan."

"Palingan dia dapat jalang di sana makanya dia putusin lo." timpalnya.

"Hus, Arsen! Jangan ngomong gitu. Lo gak perlu buang-buang tenaga lo buat maki-maki Adrian. Lo gak perlu marah-marah untuk orang yang gak penting, Sen. Gue bakal lupain Adrian mulai detik ini juga. Gue baik-baik aja, kok. Liat nih, gue udah gak nangis, 'kan?" kataku sambil mengelap sisa air mataku dan tersenyum selebar mungkin.

"Janji ya sama gue, lo gak bakal nangis gara-gara Adrian lagi?" dia mengangkat jari kelingkingnya.

Aku ragu untuk berjanji, namun meningat hal yang Adrian sudah lakukan padaku, aku akan berjanji untuk tidak menangisi dia lagi dan akan melupakannya.

"Janji!" balasku sambil mengaitkan jari kelingkingku di jari kelingking Arsen juga.

🎼🎼🎼

Seiring berjalannya waktu, hari-hariku banyak ditemani oleh Arsen.

Hingga akhirnya waktu itu kami jalan santai di sore hari sambil makan es krim bersama di sebuah taman, Arsen menyatakan perasaannya padaku.

"Ren, sebenernya gue nunggu waktu yang pas untuk nyatain ini. Dan gue kira saat ini adalah waktu yang pas. Gue... suka sama lo, Ren. Gue udah suka sama lo sejak kita pertama kali ketemu di SMA. Cuman sayangnya, waktu itu gue keduluan sama Adrian. Waktu itu gue tau kalo Adrian juga suka sama lo, dan saat itu gue memutuskan untuk nggak menyuarakan isi hati gue. Tapi saat ini, di saat kakak gue gak bisa jaga lo dan malah nyakitin lo, gue jadi semakin ingin menjaga lo dan... intinya gue sayang sama lo. Gue udah jatuh terlalu dalam, Ren. Gue bakal jaga lo sebaik mungkin, Ren." jelas Arsen panjang lebar.

Aku sendiri terkejut dengan pernyataan Arsen barusan. Dia telah menyimpan rasa kepadaku, jauh sebelum aku mengenal Adrian, kakaknya.

Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan Arsen waktu tau aku jadian sama Adrian.

Oh god, apa yang harus ku lakukan?

"Jadi gimana, Ren, lo... mau gak jadi pacar gue?" ucapnya sambil menanti jawaban dariku.

Mungkin dengan berpacaran dengan Arsen, aku akan total melupakan Adrian.

Tidak! Arsen bukanlah pelarian. Aku akan menerimanya karena di dekatnya, aku selalu merasa nyaman. Dan cuma Arsen yang bisa membuatku nyaman.

Mudah-mudahan pilihanku ini tepat.

"Gue... mau jadi pacar lo, Sen."

Arsen tersenyum lebar mendengar jawabanku.

"Terima kasih, Ren."

"Tapi, Sen..."

"Kenapa, Ren?"

"But what if this relationship doesn't go according to your expectations?"

"Rena, itu urusan belakang. Yang jelas gue pengin jaga lo. Gue bakal nunggu satu saat di mana hati lo bisa sepenuhnya cinta sama gue. Gue bakalan tunggu waktu itu."

"Makasih, Sen."

🎼🎼🎼

Tahun berganti tahun, dan aku menikmati masa-masaku bersama Arsen.

Entah pada siapa hati ini tertuju. Yang jelas aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu bahagia bersama Arsen.

Karena bersama Arsen, aku kembali hidup setelah seseorang dari masa lalu memutuskan untuk pergi dari hidupku.

Seenggaknya, aku merasa sangat beruntung bisa bertemu cowok kayak Arsen.

🎼🎼🎼

"Eh jauh-jauh ya lo sama gue."

"Ihh, apasih pacarku yang imut kayak hamster, jangan gitu ah aku sedihh."

"Plis, Sen, gue jijik dengernya. Dan satu lagi, jangan samain gue sama hamster lagi. Lo kan tau gue paling gak suka sama hamster."

"Hah? Lo mau gue bawain hamster? Iyadeh entar gue bawain ke rumah lo. Mau berapa? Satu, dua? sepuluh, dua puluh? Apa aja deh buat Rena tersayang."

"Anjir, lo rese ya."

"Hahahahahaha..."

"Ketawa aja sesuka lo, Sen."

"Iya iya ampun, Mak."

Saat aku sedang asyik ngobrol dengan Arsen lewat telepon, Bi Surti masuk ke kamarku dan memberitahu bahwa ada seseorang yang mencariku di bawah.

"Hm, Sen, udah dulu ya, ada tamu soalnya."

"Oke deh, Rena. Bye, Beb."

"Bye, nyet."

Aku pun segera turun dan menemui orang yang mencariku tersebut.

Betapa terkejutnya aku ketika melihat siapa orang tersebut.

"Adrian..."

Dia tersenyum padaku.

"Ren, iya ini gue Adrian."

Setelah perdebatanku dengan hatiku sendiri, aku segera menyuruh Adrian masuk.

"Jadi... ada apa?" tanyaku pelan. Pandanganku masih menatap ke bawah. Aku masih belum berani menatap mata Adrian.

"Gue udah ada di sini, Ren." ucapnya. Habis itu ia memperbaiki duduknya lebih tegap. "Lo masih inget kan isi surat yang gue titipin di Arsen sebelum gue pergi?"

Aku mengangguk.

"Di situ gue janji bakalan kembali buat lo, Ren. And, here I am, gue udah di sini. Dan... hm, apa lo masih nunggu gue? Gue pengin minta maaf atas semua kebrengsekan gue selama ini ke lo. Tapi, hati gue nyuruh untuk kembali sama lo, Ren."

Sontak aku terkejut. Apa yang baru ia katakan? Dia ingin aku kembali setelah waktu itu ia memutuskan tanpa alasan?

Kali ini, aku memberanikan diri untuk menatap matanya yang sudah lama ku rindukan. Bukan karena ingin mengulang masa lalu kami berdua, tapi ingin mempertegas semuanya. "Apa lo bilang, Dri? Lo mau kita balikan lagi? Setelah semua yang lo perbuat ke gue, lo masih bisa minta balikan? Lo bener-bener brengsek, Dri. Waktu itu lo ninggalin gue ke Amerika dan di situ gue yang terakhir tau soal keberangkatan lo dan lo gak pernah cerita sebelumnya kalo lo pengin ke Amerika. Setelah itu, lo janji bakalan kembali, gue pun nungguin lo dalam waktu satu setengah tahun tanpa kabar dari lo. Dan tiba-tiba aja lo ngirim gue email dan mutusin gue secara sepihak tanpa ada alasan, terus lo mau gue balik sama lo, ya, Dri?

"Maaf, Dri, gue punya hati tapi udah lo sakitin dulu, hingga akhirnya ada seseorang yang mau ngobatin luka di hati gue. Gue bukanlah cewek yang mau balik sama ko begitu aja setelah lo ninggalin gue. Lo bener-bener keterlaluan ya, Dri. Gak nyangka gue." aku menatur napasku agar segera kembali normal.

"Gue... nyesel. Gue minta maaf." ucapnya sambil menundukkan kepalanya. "Hm, siapa cowok itu, Ren?"

"Yang jelas dia adalah cowok yang selalu hapusin air mata gue ketika gue menangis karena lo dulu, dia cowok yang selalu ada buat nenangin gue, dan selalu ada untuk menghibur gue di saat lo nyakitin gue, Dri."

"Siapa, Ren?"

"Arsen. Cowok itu Arsen."

Adrian tampak memijat pelipisnya.

"Maaf, Dri. Sebaiknya lo pulang sekarang. Karena sebentar lagi Arsen dateng dan gue gak mau buat dia mengira kalo gue masih ngarepin lo, Dri."

"Lo udah bahagia, ya?"

"Yap, gue sangat bahagia sama Arsen."

"Gue emang telat, ya, Ren."

"Lo gak telat, tapi lo sendiri yang udah mutusin pilihan untuk meninggalkan. Jadi, mudah-mudahan lo gak nyesel memilih pemilihan lo saat ini. Karena hati itu bukan buat main-main."

"Gue bener-bener kehilangan lo sekarang, Rena."

🎼🎼🎼

You never know what you have until you lose it, and once you lost it, you can never get it back.

🎼🎼🎼

Akhirnya ONE SHOOT: WHAT IF? selesai juga. Ayo, sama-sama ucapakan hamdalah. Alhamdulillah.

Wah, gak nyangka bisa sampe 2448 words.

Hm, gue bikin one shot ini sebenernya pengin dipublish untuk hari valentine kemarin, tapi gue langsung mager dan gak jadi selesaiin. Jadinya hari ini deh baru selese.

Oh, ya, comment boleh dong setelah baca cerita ini.

Makasih sebelumnya.

Love,
ReskyPutriR

Senin, 22 Februari 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persyaratan Peserta Didik Baru Online SMP Negeri 2 Sentani 2016/2017

Cerpen: Highschool Story

Peristiwa Perjuangan serta Uraian Singkatnya