Cerpen: Highschool Story


Siang itu, tepat jam istirahat aku dan Zidny keluar dari kelas menuju kantin. Ini kegiatan rutin kami setiap hari ketika jam pelajaran keempat telah berakhir. Biasanya kami berdua ditemani oleh Raka dan Preston. Tetapi mereka ingin buat video keliling sekolah yang akan di-share di channel youtube Preston. Oh iya, Preston ini merupakan murid pertukaran pelajaran dari Amerika. Selama setahun ke depan dia akan belajar di sekolahku, yaitu SMA N 3 Bandung.

Ketika aku dan Zidny sedang jalan menuju kantin, kami melihat murid-murid yang sedang begerombol. Entah apa yang mereka lihat. Lalu kulihat Rini yang merupakan anak kelas XI IPA 3 keluar dari gerombolan tersebut. Terus kutanya, “Ada apa sih, Rin? Kok rame-rame gitu?”

Rini langsung senyum-senyum tidak jelas. Serius, dia kesambet apa sih sampai bisa senyum-senyum gitu. “Itu loh, Tas! Ada murid pindahan dari Jakarta. Anaknya ganteng banget, Tas!” seru Rini kegirangan. Wait, what?! Anak pindahan dari Jakarta? Ohh, jadi gerombolan tadi  gara-gara anak baru itu. Aku jadi penasaran kayak apa sih tampang anak baru yang membuat satu sekolahan heboh.

***

            Setelah menanyakan pada Rini apa yang terjadi, aku dan Zidny kembali ke kelas karena segerombol anak-anak tersebut menghalangi akses kami berdua menuju kantin. Well, ini menyebalkan sekali karena jika kami tetap ingin ke kantin, kami harus putar melewati jalan belakang yang bertepatan dengan ruang osis. Asal kalian tahu, ruangan itu jauh sekali. Maka dari itu kami lebih memilih kembali ke kelas.

            Beberapa menit kemudian bel tanda berakhirnya istirahat pun berbunyi. Tadi, waktu Preston tahu kami tidak jadi ke kantin, dia membagikan kue surabi buatan Ibu Ratna yang merupakan host-family Preston. Preston, kamu baik sekali. Terima kasih ya kuenya.

            Teman-temanku yang lain langsung duduk rapi di tempat masing-masing ketika melihat Miss. Wina dari kaca jendela. Tak lama, Miss. Wina memasuki kelas. “Okay, class. Hari ini kita kedatangan murid baru.”  ucap Miss. Wina membuat penghuni kelas saling berbisik dan aku sendiri melempar tatapan ke Zidny. Apa mungkin murid baru itu merupakan murid yang tadi juga diceritakan oleh Rini. Dan kenapa dia harus sekelas denganku. Memang sih aku sama sekali belum melihat wajahnya. Tapi entah kenapa kejadian tadi membuatku kesal.

            Miss. Wina menoleh ke arah pintu. “Nak, ayo masuk. Perkenalkan dirimu di depan teman-teman barumu.” perintah Miss. Wina kepada sosok yang berada di dekat pintu tersebut. Kulihat langkah kakinya yang mulai memasuki ruang kelas. Mataku langsung beralih ke atas untuk melihat siapa sosok anak baru yang digilai anak-anak satu sekolah.

            Seketika mataku mengerjap ketika melihatnya langsung. Mataku masih tidak bisa berpaling darinya. Serius, ini bukan karena persoalan kagum, suka, atau apapun yang biasa terjadi di novel-novel ketika ada anak baru yang masuk di sekolah kalian. Kesan pertama yang kudapat adalah dia merupakan orang yang “sok”. Entah kenapa teman-teman cewek sekelasku (kecuali Zidny dan Ningsih) pada ribut dan heboh tiba-tiba. Kelas riuh. Lalu Miss. Wina menginterupsikan untuk diam.

            Cowok yang menggunakan jam hitam itu berdiri tepat di depan kelas. Penampilannya ya begitu. Rambutnya pasti ditata menggunakan pomade dari barbershop favorit, kulitnya juga putih tapi gak putih-putih amat, punya lesung di pipi kirinya, badannya tinggi, dan apalagi ya. Dia bisa kukriteriakan sebagai cowok yang style-nya kekinian banget. Tapi dibalik itu semua, tetap saja aku tidak suka. “Perkenalkan nama gua Andrew Alexand Dirgantara. Lo semua bisa panggil gua Andrew. Gue pindahan dari Jakarta. Gua harap kita bisa jadi teman baik.” dia berkata seperti itu lalu tersenyum. Sontak seisi kelas semakin riuh saja. Aku berbalik melihat ke arah Zidny yang duduk di sampingku. “Sumpah ya, itu cowok sok banget.” bisikku kepada Zidny denga kesal. Zidny mengangguk pertanda setuju dengan omonganku.

            Sehabis sesi kenalan tadi, Miss. Wina menyuruh Andrew duduk di bangku nomor dua. Kebetulan waktu itu  Asyraf duduk sendiri karena Rio sedang sakit. Selanjutnya, kami tidak ada pelajaran dikarenakan guru-guru sedang mengadakan rapat komite sekolah.

            Dikarenakan kosongnya jam pelajaran , aku dan Zidny memutar kursi ke belakang tepat di meja Raka dan Preston. Kami bereempat pun ngobrol sama-sama. Mulai dari cerita Zidny yang dari kemarin masih berlanjut sampai sekarang tentang mamanya yang sedang melakukan eksperimen. Yaitu membuat masakan yang enggak normal, mulai dari sarapan nasi goreng bumbu caramel sampai jus wortel campur nangka dan coca cola. Itu benar-benar gila. Dan hal itu pula lah yang membuat kami bereempat tidak henti-hentinya tertawa. Karena kebanyakan tertawa, aku langsung jadi kebelet pipis. “Eh, aku ke toilet bentar ya!” ucapku pada mereka dan sesegara mungkin menuju toilet.

            Namun sepertinya keberuntungan tidak berpihak padaku hari ini. Bukannya sedang berlari saat ini badanku justru sudah menyatu dengan lantai. Kudengar ada yang langsung ingin membantuku dan ada juga yang tertawa. Benar-benar kurang ajar orang yang tertawa itu. Well, jika saja kaki milik sesorang ini tidak ada di tengah jalan mungkin aku tidak akan jatuh saat ini.

            Aku mendongak dan melihat Preston dan Raka yang terlihat panic dan berusaha membantuku bangun, aku pun heran melihat mengapa mereka berdua bisa berada di sini. Dan oww, cowok menyebalkan bernama Andrew itu. Ternyata dialah yang membuatku seperti ini. Aku langsung cepat-cepat berdiri. Membersihkan rok dan bajuku yang sedikit kotor. Amarah sudah tidak dapat kuredam lagi. “Kamu ya! Baru beberapa jam di sekolah ini sudah buat orang-orang kesal. Apa kamu sengaja menaruh kaki kamu di situ supaya aku jatuh, huh?” ucapku dengan nafas yang tak teratur. Aku merasa kesal sekali.

            “Apa kata lo? Gue sengaja supaya lo jatuh? Jangan ge-er ya!” ujarnya dengan nada ‘sok’ yang paling tidak kusukai. Lantas aku terkejut melihat responnya. “Aku lagi enggak mimpi kan sekarang ketemu orang kayak kamu?” ujarku tak percaya. Lalu aku lanjut berkata. “Emang susah ya bagi kamu untuk minta maaf dan masalah selesai?” Aku geleng-geleng melihat Andrew yang hanya menaikkan alisnya. Mungkin karena Raka, Preston dan Zidny tahu bahwa emosiku sudah mencapai titik puncak, mereka pun membawaku pergi dari kelas menuju taman belakang sekolah. Satu hal yang aku sadari ketika keluar dari kelas: kelas menjadi sangat diam.

***

            Semenjak kejadian itu, aku mendeklarasikan bendera perang kepada Andrew. Semenjak itu pula aku tidak menaruh respect terhadapnya. Biar saja, memang dia siapa.

            Hal menjengkelkan yang dibuat oleh Andrew tidak terhenti di saat dia menggaet kakiku. Tapi juga pada saat dia mengambil semuanya dariku. Mulai dari guru-guru yang sangat suka dengannya, murid-murid berlomba-lomba menjadi fansnya, peringkat teratas juga direbut olehnya. Serius, bukannya  aku cemburu dengannya. Tetapi aku bingung mengapa dia bisa mendapatkan peringkat teratas dan menggeser posisiku padahal yang kutahu dia sering tidur di kelas, tidak memperhatikan guru, hanya main game, dan dia sibuk banget dengan road-trip bersama teman-temannya. Tidak ada yang special sama sekali dari cara belajarnya. Hal itu terus membuatku bertanya-tanya.

***

            Dua bulan setelah kejadian itu barulah Andrew meminta maaf kepadaku. Aku waktu itu kaget, enggak tahu ingin bilang apa karena dia tiba-tiba saja meminta maaf. Waktu itu Andrew minta maaf saat kami berada di McD. Akan kuceritakan kenapa kami berdua tiba-tiba bisa berada di McD. Hari itu, sekolah sudah sepi dan ayah belum juga menjemputku. Ayah sedang ada rapat mendadak saat itu sehingga tidak bisa menjemputku. Aku bingung ingin pulang naik apa sedangkan saat itu sudah sore. Sudah tidak ada angkot di daerah sekolahku. Dan tiba-tiba kulihat Andrew yang baru pulang sekolah. Katanya sih dia ada urusan sama guru makanya pulangnya agak telat. 

            Dia nawarin aku ikut sama dia naik motor. Saat itu aku masih marah sama dia makanya kutolak. Tapi dia tetap bersikeras supaya aku ikut dengannya. Karena Andrew benar-benar sangat menjengkelkan akhirnya aku terima saja tawarannya. Lagian kalau aku tidak menerima tawarannya, aku akan pulang dengan siapa.

            Bukannya mengantarku pulang ke rumah, dia malah berbelok menuju McD. Aku sempat nanya ke dia “Kenapa kita ke sini”. Tapi dia jawabnya “Diem aja. Gak usah banyak bacot”. Aku diam. Tidak ingin memperpanjang masalah. Semenjak itu, aku jadi tahu kalau Andrew juga merupakan seorang pemaksa. Aku jadi tambah kesel sama dia.

            Kami pun masuk dan memesan makanan. Pas lagi makan, Andrew tiba-tiba mengungkit masalah waktu itu dan langsung meminta maaf. Aku langsung memaafkannya karena sebenarnya aku juga lelah harus marah  dengan orang dalam waktu yang lama. Jujur saja, sebelum Andrew meminta maaf kepadaku, dia sempat mengajakku berbicara. Dia juga sempat satu kelompok tugas denganku dan kami berdua sama sekali tidak bicara satu sama lain.

            Dan setelah Andrew meminta maaf, aku dan dia jadi dekat sekali. Aku bisa melihat sosok lain dari diri Andrew. Maksudku, bukan sosok angkuh dan pemaksa yang selama ini kuketahui tentang Andrew. Setelah aku mengenalnya lebih dekat, dia memiliki pemikiran yang dewasa dan merupakan orang yang gokil. Sisi lain dari Andrew yang aku tahu adalah dia suka juga baca novel. I mean, wow! Seorang Andrew yang terkenal sebagai cowok cool di sekolah suka baca novel. Tapi dia cuma pernah baca novel Dilan sama Critical Eleven saja. Katanya sih, novelnya absolutely keren!

***

            Dan yeah, kini aku tiba di akhir cerita SMA-ku. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa hari ini. Kelulusan telah diumumkan dan hari ini adalah acara perpisahan di sekolah kami. Seluruh temanku merayakannya. Kecuali, Preston karena dia telah kembali ke Amerika. Dia hanya satu tahun belajar di sekolahku. Aku sedih karena dia sudah menjadi sahabat baikku. But, it is okay. Aku, Raka, Preston, dan Zidny juga akan ketemuan di Singapore dua bulan lagi. So, wait for me, Preston!

            Satu hal yang tidak bisa kulupakan hari itu adalah di mana aku sadar bahwa pertemuanku dengan Andrew juga harus berakhir. Malam ketika selesainya acara perpisahan, Andrew datang ke rumahku. Awalnya aku terkejut mengapa ia bisa datang. Dan sebenarnya malam itu, Andrew ingin memberitahuku kenyataan yang sangat pahit.

            Aku ingat sekali, malam itu dia datang dengan jaket kulit warna hitamnya. Tidak ada senyuman yang biasa dia berikan untukku malam itu. Semua terasa aneh. Aku sendiri tidak bisa mendeskripsikan perasaanku malam itu.

            Malam itu, malam terakhir dia bersamaku. Karena esoknya adalah hari keberangkatannya ke Manchester untuk melanjutkan studinya. Sesaat setelah Andrew mengatakan hal itu, tidak tahu kenapa aku menangis. Aku merasa jika sebagian dari diriku akan hilang. Dia mengusap air mataku. “Jangan menangis. Aku hanya bersekolah di sana.” ujarnya ingin membuatku tenang. Lalu dia membawaku ke dalam dekapannya. Itu yang terakhir. I remember the day you told me you were leaving, Drew. Terima kasih  untuk kamu, Preston, Raka, Zidny yang sudah membuat masa-masa SMA-ku begitu berarti.

            Semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan, Andrew Alexand Dirgantara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persyaratan Peserta Didik Baru Online SMP Negeri 2 Sentani 2016/2017