Sudut Pandang (Point of View)
Senin, 7 Maret 2016
Sudut Pandang (Point of View)
Point of view berhubungan dengan siapakah yang
menceritakan kisah dalam cerpen. Cara yang dipilih oleh pengarang, akan
menentukan sekali gaya dan corak cerita. Hal ini disebabkan watak dan pribadi
si pencerita (pengarang), akan banyak menentukan cerita yang dituturkan pada
pembaca. Tiap orang mempunyai pandangan hidup, cara berpikir, kepercayaan,
maupun sudut emosi yang berbeda-beda. Penentuan pengarang tentang soal siapa
yang akan menceritakan kisah, akan menentukan bagaimana sebuah cerpen bisa
terwujud.
Sudut
pandang pada intinya adalah visi pengarang. Sudut pandang yang diambil
pengarang tersebut, berguna untuk melihat suatu kejadian cerita. Tentunya harus
dibedakan, antara pandangan pengarang sebagai pribadi dengan teknis dia
bercerita dalam cerpen. Hal ini menyangkut, bagaimana pandangan pribadi
pengarang akan bisa diungkapkan sebaik-baiknya sehingga pembaca dapat
menikmatinya. Untuk ini, ia harus memilih karakter mana dalam cerpennya yang
disuruh becerita. Dalam hal ini, sudut pandang memegang peranan penting akan
kejadian-kejadian yang akan disajikan dalam cerpen, menyangkut masalah ke mana
pembaca akan dibawa, menyangkut masalah kesadaran siapa yang dipaparkan.
Adapun sudut
pandang pengarang sendiri ada empat macam, yaitu sebagai berikut.
a. Objective point of view
Dalam teknik
ini, pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti kamu melihat film
dalam televisi. Para tokoh hadir dengan karakter masing-masing. Pengarang sama
sekali tidak mau masuk ke dalam pikiran para pelaku. Dengan demikian, pembaca
dapat menafsirkan sendiri bagaimana pandangannya terhadap laku tiap tokoh.
Dengan melihat perbuatan orang lain tersebut, kita menilai kehidupan jiwanya,
kepribadiannya, jalan pikirannya, ataupun perasaannya.
Motif tindakan
pelakunya hanya bisa kita nilai dari perbuatan mereka. Dalam hal ini, pembaca
dapat mengambil tafsiran sendiri dari dialog antartokoh, maupun tindak-tanduk
yang dilakukan tiap tokoh. Pengarang paling hanya memberikan sedikit gambar
mengenai kondisi para tokoh, untuk “memancing” pembaca mengetahui lebih jauh
tentang tokoh-tokoh yang ada dalam cerita.
b. Omniscient point of view
Dalam teknik
ini, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya. Ia bisa
menciptakan apa saja yang ia perlukan, untuk melengkapi ceritanya sehingga
mencapai efek yang diinginkannya. Ia bisa keluar-masukkan para tokohnya. Ia
bisa mengemukakan perasaan, kesadaran, dan jalan pikiran para pelaku cerita.
Pengarang juga bisa mengomentari kelakuan para pelakunya. Bahkan, pengarang
bisa bicara langsung dengan pembacanya.
Ciri omniscient point of view lebih cocok
untuk cerita yang bersifat sejarah, edukatif, ataupun humoris. Teknik ini biasa
digunakan untuk hal-hal yang bersifat informatif bagi pembaca, yang kiranya
memang pembaca belum begitu banyak mengetahui. Tentunya, teknik ini biasanya
digunakan dalam penulisan dengan observasi terlebih dahulu (pengamatan maupun
pembacaan).
c. Point of view orang pertama
Teknik ini
lebih popular di Indonesia. Teknik ini dikenal pula dengan teknik sudut pandang
“aku”. Hal ini seperti seseorang mengajak bicara pada orang lain. Dengan teknik
ini, pembaca diajak ke pusat kejadian, melihat, merasakan melalui mata, dan
kesadaran orang yang langsung bersangkutan. Tentunya, pembaca juga harus cerdas
membedakan jangan sampai pikiran “aku” dalam cerpen, disamakan dengan pikiran
si pengarang itu sendiri.
Teknik sudut
pandang seperti ini, sangat cocok untuk cerpen yang menceritakan masalah
kejiwaan (psikologis) sang tokoh. Pembaca dibawa hanyut dalam setiap gerak
emosi sang tokoh.
d. Point of view orang ketiga
Teknik ini
biasa digunakan dalam penuturan pengalaman seseorang sebagai pihak ketiga. Jadi, pengarang hanya “menitipkan”
pemikirannya dalam tokoh orang ketiga. Orang ketiga (“Dia”) dapat juga berupa
nama orang. Adapun perkembangan emosi tokoh dalam membentuk konflik, dapat
dilihat dalam hubungannya antara tokoh utama “dia” dengan tokoh lainnya.
Dengan
menggunakan tokoh ini, pengarang bisa lebih leluasa dalam menceritakan atau
menggambarkan keadaan, tanpa terpaku pada pandangan pribadi. Ini berbeda dengan
menggunakan tokoh “aku”. Sang tokoh utama seolah-olah dapat berkembang sendiri,
dengan pemikirannya sendiri. Dengan demikian, pembaca dibawa untuk memahami
sendiri bagaimana tokoh “dia” bertindak, tanpa harus memikirkan peranan sang
pengarang terhadap tokoh tersebut.
Komentar
Posting Komentar